AGAKNYA, lebih dari satu dekade, saya tidak produktif menulis puisi. Jauh sekali
perbedaannya saat dulu, di Yogyakarta. Entah apa sebab. Mungkin, sejak menetap
di Riau, pekerjaan menjadi dosen cukup memecah konsentrasi. Dan mungkin juga, karena saya lebih banyak menggarap pertunjukan teater. Atau karena keasikan nulis esai pendek untuk kolom di media. Atau mungkin karena kesibukan menggerakkan komunitas. Entahlah. Atau faktor lain, misalnya, kejenuhan.
Tapi, yang pasti, saya masih menulis puisi. Sesekali, jika mood datang dan
tertantang oleh sebuah tema tertentu. Misalnya, tema agama, yang belakangan
saya merasa makin krusial dalam realitas sosial kita–juga dalam diri saya. Maka
lahirlah sejumlah puisi-puisi yang melihat agama dari perspektif lain,
menghidupkan yang “benda dianggap mati” dalam nilai spiritual. Atau, agama dari titik pandang yang ekstrim. Andai saja semua beragama, dan meletakkan agama sebagai tujuan awal ia lahir, maka dunia aman, tidak kacau.
Tema lain muncul pula di tengah kesibukan “beragama”, yakni peribahasa. Bagi
saya, godaan untuk mengulik soal-soal kebahasaan yang unik sering mengganggu.
Melayu, kaya-raya akan itu. Arkais sampai yang fragmatis, bahasa terus bergaung
tak henti mengurai makna-makna baru. Saya tetap yakin, tugas penyair ya itu.
Tidak sekadar menyuarakan yang berdesakan di dada, terus jadi melankolis dan
meras paling romantis. Berpuisi itu tetap berumah pada “kata” yang melahirkan
kemungkinan-kemungkinan cara ucap baru bagi bahasa. Kalau tidak, ya, puisi
bikin saya jenuh. Lumpuh, gampang terpiuh.
- Judul Buku : Yang Melimpah dari Cucuran Atap Peribahasa
- Penulis : Marhalim Zaini
- Halaman : 130 Halaman
- Ukuran Buku : 14,5cm x 23cm
- ISBN : —
Leave a Reply